Bolehkah Memakai Sabun Saat Berihram?

Bolehkah Memakai Sabun Saat Berihram?

Bagaimana hukum memakai atau menggunakan sabun wangi saat ihrom? diantara salah satu larangan ketika berihram adalah menggunakan wewangian. Namun bagaimana jika orang yang sedang berihram haji maupun umrah, apakah boleh mandi dengan menggunakan sabun? Atau bolehkah ia juga mencuci pakaiannya atau mencuci perkakas dengan menggunakan sabun wangi?

Memakai Sabun
Memakai Sabun


Larangan Menggunakan Wewangian Ketika Berihrom

Dalam Kitab Bulughul Marom hadits no. 731, disebutkan hadits berikut ini,

وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ: مَا يَلْبَسُ اَلْمُحْرِمُ مِنْ اَلثِّيَابِ? فَقَالَ: ” لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ, وَلَا اَلْعَمَائِمَ, وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ, وَلَا اَلْبَرَانِسَ, وَلَا اَلْخِفَافَ, إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ اَلنَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ اَلْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ اَلْكَعْبَيْنِ, وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ اَلثِّيَابِ مَسَّهُ اَلزَّعْفَرَانُ وَلَا اَلْوَرْسُ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai pakaian apa yang boleh dipakai oleh muhrim (orang yang berihram)?” Beliau menjawab, “Tidak boleh memakai baju yang punya lengan, ‘imamah (penutup yang menyelubungi kepala), celana, baronis (pakaian yang menutupi kepala dan badan), sepatu, kecuali jika tidak memilikii sendal, hendaklah ia mengenakan dua sepatu lalu dipotong bagian yang lebih bawah dari dua mata kaki. Dan jangan memakai pakaian yang tersentuh minyak za’faran dan waros (wewangian dari tanaman yang warnanya merah).” Muttafaq ‘alaih, sedangkan lafazhnya adalah lafazh Muslim.
Dalil ini menunjukkan dilarang bagi yang sedang berihram baik laki-laki maupun perempuan untuk memakai wewangian secara umum.

Sabun Wangi Saat Ihram

Kemudian bagaimana menggunakan sabun wangi saat ihram?

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

1- Menggunakan sabun wangi selama tidak digunakan untuk maksud menikmati wanginya, maka dibolehkan. Namun jika yang dimaksud untuk menikmati wanginya, seperti wangi minyak misik dan semacamnya, maka tidak boleh digunakan. Demikian yang dipilih oleh ulama Malikiyah.

Alasannya: Pendapat ini beralasan karena mencium wewangian saja tidaklah dikenakan fidyah. Beda halnya jika wewangiannya digunakan untuk menikmati wanginya.

2- Sabun wangi boleh digunakan selama sabun itu yang mayoritas, bukan wanginya yang mendominasi dan orang-orang masih menyebutnya sabun (bukan wewangian atau parfum). Sedangkan jika wewangian yang mendominasi, maka tidak boleh digunakan. Jika sabun digunakan untuk tujuan membersihkan, maka boleh digunakan. Namun jika maksudnya untuk menikmati wanginya, maka tidak dibolehkan. Demikian pendapat ulama Hanafiyah.

Alasannya: Menggunakan sabun wangi tidaklah dimaksud untuk menikmati wanginya. Juga sabun ini tidak disebut wewangian atau parfum.

3- Sabun wangi tidak boleh digunakan sebagaimana minyak wangi. Demikian pendapat Abu Hanifah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hambali.

Alasannya: Karena memandang keumuman dalil yang melarang memakai wewangian. Juga karena adanya bau, menunjukkan adanya wewangian yang digunakan. Jadi jika ada wewangian yang bersendirian atau bercampur dengan lainnya digunakan, maka wajib ada fidyah.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Karena mengatakan bahwa sabun tidak memiliki bau atau wangi sama sekali adalah suatu yang mustahil. Jadi, jika ada sabun yang berbau buah-buahan dan itu jelas bukan maksud untuk dinikmati wanginya, maka boleh digunakan. Namun jika sabun memiliki tambahan yang dengan maksud dinikmati wanginya (seperti minyak za'faron), maka tidak boleh digunakan. Pendapat ini lebih menimbang anggapan sabun menurut ‘urf, menghilangkan kesulitan dan kehati-hatian dalam ibadah.

Namun jika dapat dihindari sabun wangi termasuk juga sabun cuci (deterjen) yang wangi itu lebih baik. Apalagi saat musim haji amat banyak ditemukan sabun-sabun non parfum di berbagai toko di tanah suci.




Referensi:

An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an.

Bulughul Maram min Adillat al-Ahkam, Alhafidz Ibnu Hajar Al 'Asqolani
Next article Next Post
Previous article Previous Post